Selasa, 18 Oktober 2011

Malu

Menjamurnya pelbagai cerita miris di Tanah Air kita akhir-akhir ini, yaitu korupsi anggaran, penggelembungan nilai proyek, kerakusan jabatan, dan beragam praktik lain, menciptakan kesangsian kepada kita tentang apa sebenarnya makna sebuah habitat yang bernama manusia.
Manusia sebagai sebuah habitat dikisahkan oleh Will Richard Bird dalam novelnya, The Shy Yorkshireman (1955). Menurut kisah itu, apa yang secara mencolok membedakan habitat manusia dengan binatang bukanlah logika ataupun kepiawaian. Bukan pula keberanian dan ketakutan. Binatang, sebagaimana manusia, bisa saja berlogika, piawai, berani, dan takut.
Kucing, misalnya. Jika binatang mengeong ini mencuri ikan di dapur, lalu mendengar suara pintu terbuka, ia akan lari kencang ketakutan. Namun, jika ikan yang dimakan sengaja diberi tuannya, kucing pun khusyuk melahapnya tanpa menghiraukan kegaduhan apa pun di sekelilingnya. Kucing, tampaknya, bisa berlogika: mana makanan yang direlakan pemiliknya dan yang tidak.
Dan, kucing berani mencuri jika tidak ada tuannya. Demikian sebaliknya, ia tidak akan mencuri apabila tahu tuannya ada. Tak lain bawaan tipikal semacam itu nyaris sama dengan tipikal para pencuri uang rakyat, penjual dan pembeli jabatan: serakah dan rakus. Berani di belakang. Takut jika kerakusannya terlihat oleh penegak hukum. Karena itulah Richard Bird berpendapat, hal yang jelas dan mendasar yang membedakan habitat manusia dan binatang adalah: rasa malu.

Doktrin malu

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), malu adalah merasa sangat tidak senang, rendah, hina, dan sebagainya karena berbuat sesuatu yang kurang baik, bercacat, atau tidak disetujui oleh umumnya manusia. Istilah ini mengilhami banyak karya fiksi ataupun nonfiksi, seperti film nonfiksi garapan seorang penulis sekaligus sutradara kawakan, April Rouveyrol, berjudul Shy (2008), yang mengisahkan betapa rasa malu menjadi mahkota manusia yang sangat agung.
Timothy Bottoms, salah satu tokoh dalam film itu, rela melemparkan jabatan penting, mengasingkan diri dan hijrah ke sebuah kota kumuh di Amerika, bahkan ingin menjadi seorang petugas satpam lagi dengan penghasilan rendah hanya karena dirinya tak lagi memperoleh senyum dukungan dari para bawahannya, tak ada lagi dukungan politik dari masyarakat sekitarnya.
Begitu pun di alam nyata, manusia selalu menunjukkan rasa malunya untuk membuktikan kekuatan integritas atau kualitas kemanusiaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Roh Moo-hyun, mantan Presiden Korea Selatan, yang terpaksa bunuh diri dengan cara terjun dari sebuah batu karang setinggi 20-30 meter di pegunungan bagian selatan Semenanjung Korea tahun 2009. Hal itu terjadi hanya karena ia harus menanggung malu akibat keterlibatannya dalam kasus korupsi.
Pertengahan 2010, Yukio Hatoyama berikrar mundur dari tampuk singgasana Perdana Menteri Jepang. Setali tiga uang dengan Roh Moo-hyun, keputusannya dilandasi rasa malu karena gagal dalam memenuhi janji kampanye memindahkan pangkalan Marinir AS di lepas pantai selatan Pulau Okinawa.
Apa yang dilakukan oleh dua tokoh di atas—walau ekstrem dan radikal—sebenarnya tidak lain sebuah pembuktian bahwa mereka adalah bagian dari habitat manusia, habitat yang punya rasa malu. Secara langsung, saat yang bersamaan mereka juga menunjukkan eksistensinya sebagai manusia, makhluk yang berbudaya.

Malu di kita

Di Indonesia, di negeri kita, malu tinggal sebagai hal yang sangat langka, aneh, dan asing. Ia bukan lagi sebuah standar moral yang dipegang kuat oleh mereka memiliki posisi sosial dan kultural tinggi. Ia tidak lagi menjadi ukuran bagi kualitas kemanusiaan, bukan tolok ukur bagi integritas atau eksistensi kita sebagai manusia.
Itulah yang membuat banyak orang di Indonesia melakukan hal-hal yang memalukan tanpa keberatan, bahkan tanpa tedeng aling-aling.
Seorang pejabat publik, misalnya, dapat dengan ringan hati, tanpa keberatan apa pun, mengkhianati semua kepercayaan yang diberikan publik kepadanya.
Apa kemudian yang dilakukan dalam situasi yang tragis ini? Jika situasi kemanusiaan secara umum di Indonesia sudah seperti itu, yakni terjadi absennya standar atau acuan moral dan kesucian yang bersifat universal (nasional), tiada lain kecuali kita memanggil (lagi) apa yang disediakan dan diwariskan oleh tradisi.
Dalam setiap tradisi itu, rasa malu masih dipegang sebagai ukuran keadaban seseorang. Seperti di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang memiliki adat maja labo dahu. Artinya, setiap orang harus memiliki rasa malu di depan manusia dan takut di ribaan Tuhan.
Rasa malu itu harus tumbuh di antara manusia karena juga rasa segan dan takut kita pada satu kekuatan yang melebihi kita, Sang Pencipta. Dimensi spiritual ini yang membuat orang Bima menyadari, setiap sukses, kekayaan, ketenaran, atau jabatan, bukanlah melulu hasil dari kapasitas personalnya saja, melainkan juga karena peran dan dukungan orang lain, dan tentu izin dan berkah dari Sang Pencipta.
Karena itulah, rasa malu akan mampu membentuk manusia berkualitas yang penuh prestasi, tetapi tetap rendah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar